Oleh KH As’ad Said Ali *)
Panji Gumilang, pemilik ponpes Al Zaitun menjadi sorotan publik karena pandangan keagamaan yang “nyleneh” dan berbeda dengan pandangan kaum muslimin umumnya.
Sebelum mendirikan ponpes, ia adalah komandan wilayah 9 ( KW 9 ) Darul Islam / Negara Islam Indonesia ( DI / NII ). Setelah tertangkapnya Kartosuwirya pada 1962, DI / NII dilarang, otomatis KW 9 juga bubar.
Setelah dibubarkan, banyak anggota eks DI / NII, termasuk Panji Gumilang, kemudian direkrut oleh aparat intelijen dan selanjutnya dilibatkan dalam meredam agresivitas PKI sejak 1963.
Bermula dari kegiatan perlawanan terhadap PKI inilah, Panji Gumilang (PG) berkenalan dengan para perwira militer / intelijen, khususnya intelijen Angkatan Darat.
Panji Gumilang, pada satu sisi memanfaatkan kedekatannya tersebut untuk mendirikan ponpes Al Zaitun di Indramayu. Sedangkan pada sisi lain, aparat keamanan dan intelijen menggandeng PG selain untuk melawan komunis, juga sebagai upaya guna mencegah aktivis DI / NII kembali mengangkat senjata.
Sejak semula, Panji Gumilang (PG) memang tertarik mendalami agama Islam, khususnya ajaran Isa Bugis, seorang ustadz, yang berasal dari Aceh. Pada awal 1970 an PG menjadikan pengikutnya eks DI / NII sebagai pengikut Ajaran Isa Bugis, terutama di daerah Cisaat, Sukabumi. Akibatnya terjadi konflik dengan masyarakat sekitar yang menolak kegiatan mereka dan menganggapnya sebagai aliran sesat.
Ajaran Isa Bugis yang kontroversial itulah yang kemudian diajarkan di Ponpes Al Zaitun. Para pengamat umumnya memandang Ajaran Isa Bugis yang kemudian di adopsi oleh Al Zaitun, sejatinya merupakan pemahaman Islam berdasarkan pemikiran “Synkretisme“ dan “Eklektisisme”.
Synkretisme merupakan suatu faham yang menggabungkan atau mencampurkan ajaran berbagai agama menjadi “ajaran baru “. Sedangkan Eklektisisme merupakan pola pikir yang sejalan dengan Synkretisme yaitu suatu faham yang mengambil berbagai pendapat atau teori yang dianggapnya benar untuk digabung menjadi suatu “pendapat baru“.
Dengan demikian, agama yg diajarkan oleh Al Zaitun meskipun mengunakan label “Islam“, tetapi secara esensial dianggap oleh pemeluk Islam umumnya dianggap menyimpang dari Islam atau dianggap sebagai aliran sesat.
Sejak ajaran tersebut mulai didakwahkan di Cisaat, Sukabumi pada akhir 1960 an – awal 1970- an telah mendapat reaksi keras dari masyarakat. Akhirnya, PG memindahkan pusat dakwahnya ke Indramayu dalam bentuk pesantren yang dikenal dengan “Al Zaitun“.
Barangkali pemerintah pada masa awal Orde Baru mengizinkan Al Zaitun dengan lebih mendasarkan pada kepentingan keamanan dan abai terhadap ajaran agama yang bercorak sinkretisme yang dikemudian hari menjadi masalah politik.
Ketika menjabat sebagai Wakil Kepala BAKIN , saya diajak oleh KA BAKIN berkunjung ke ponpes tetapi dengan berbagai alasan saya menghindar karena mengantisipasi munculnya “bom waktu“ di kemudian hari.
Bagaimana mengatasi kemungkinan meledaknya “bom waktu“ tersebut. Memang dilematis karena alumni ponpes Al Zaitun cukup besar jumlahnya. Sedangkan pada sisi lain reaksi masyarakat justru akan semakin besar seperti tercermin dari tuntutan MUI yang menghendaki pemerintah menyatakan ajaran PG merupakan aliran yang menyintang. (*/fb)
*) Penulis adalah pakar intelijen yang alumni Pesantren Krapyak dan mantan Wakil Kepala BAKIN (purna 2011) dan mantan Wakil Ketua Umum PBNU (2010-2015) serta penggagas PKPNU. Saat ini menjadi Mustasyar PBNU (2022-2027)
*) Tulisan ini diambil dari catatan FB milik penulis



