Oleh Achmad Muzakky Cholily *)
Tanggal 1 Oktober selalu diwarnai ingatan heroik: Hari Kesaktian Pancasila. Ini adalah pernyataan tegas bangsa bahwa fondasi ideologi kita tak terkalahkan. Namun, hari ini, kita tidak sedang menghadapi tank atau senapan, melainkan perang narasi di saku kita sendiri, di mana ideologi kaku mengancam kohesi kebangsaan via media sosial.
Di sinilah peran Nahdlatul Ulama (NU), sebagai organisasi massa terbesar dan teruji dalam sejarah, menjadi benteng pertahanan kultural paling vital. Kesaktian Pancasila hari ini dipertahankan, bukan hanya oleh negara, melainkan oleh gerakan tradisi keagamaan yang mengakar kuat, yang kita kenal sebagai Islam Nusantara.
Sejak awal berdirinya Republik, para muassis (pendiri) NU telah menunjukkan kecerdasan teologis dan kebangsaan. Mereka tidak pernah melihat Pancasila sebagai ancaman, melainkan sebagai “Piagam Kebangsaan” yang kompatibel dengan syariat. NU menerima Pancasila sebagai “final” setelah melalui ijtihad serius dan mendalam.
Sikap ini bersumber pada prinsip utama ahlussunnah wal jama’ah yang dipegang NU: Tawassuth (Moderat). Menjaga jalan tengah, menolak ekstrem kanan dan kiri, adalah inti dari Kesaktian Pancasila itu sendiri. NU telah membuktikan bahwa menjadi Muslim yang kaffah dan Warga Negara Indonesia yang sejati adalah dua hal yang tidak perlu dipertentangkan.
Konsep Islam Nusantara adalah perwujudan paling nyata dari keselarasan ini. Ia mengajarkan Islam yang beradaptasi dengan kearifan lokal (tawazun) dan penuh toleransi (tasamuh). Melalui tradisi seperti Tahlilan, Ziarah, atau perayaan Maulid, nilai-nilai ketuhanan diakulturasikan dengan budaya, sehingga Sila Persatuan Indonesia terjaga dalam laku spiritual.
Sayangnya, di era digital, tradisi-tradisi mulia ini justru seringkali diserang oleh ideologi puritan dan transnasional yang anti-budaya. Mereka memanfaatkan platform daring untuk menyebarkan narasi bid’ah dan kafir untuk memecah belah persatuan umat dan bangsa.
Maka, para Aktivis Budaya NU harus berada di garda terdepan kontra-narasi ini. Senjata kita bukanlah kebencian, melainkan hikmah, seni, dan penjelasan sejarah yang kuat. Kita menjawab narasi khilafah yang kaku dengan dakwah santun dan mengayomi yang dicontohkan para wali songo.
Ajaran “Hubbul Wathon Minal Iman” (cinta tanah air adalah sebagian dari iman), yang menjadi spirit pondok pesantren, adalah benteng teologis paling ampuh. Ketika ideologi lain meragukan nasionalisme umat Islam, NU menegaskan bahwa membela negara adalah wajib dan bagian dari ketaatan pada Allah SWT.
Lebih dari sekadar narasi sejarah, Kesaktian Pancasila juga harus dievaluasi dari keterwujudan Sila Kelima: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Kesaktian ideologi ini akan rapuh jika masih ada ketimpangan yang dilegitimasi.
Prinsip I’tidal (Keadilan) dan keberpihakan pada mustadh’afin (kaum lemah), yang diajarkan oleh para kiai, menuntut kita untuk bersikap kritis terhadap ketidakadilan struktural. NU harus terus bersuara lantang menuntut pemerataan ekonomi dan pengentasan kemiskinan.
Oleh karena itu, mari kita jadikan peringatan 1 Oktober ini bukan sekadar upacara, melainkan momentum konsolidasi kultural. Kita harus aktif memanfaatkan semua platform untuk menyebarkan Islam ala Nusantara yang ramah dan rahmatan lil ‘alamin.
Kesaktian Pancasila adalah Kesaktian Tradisi. Selama NU dan Islam Nusantara tetap hidup, berdenyut, dan mengakar, selama itu pula ideologi bangsa ini akan tetap kokoh berdiri, menjadi payung bagi seluruh elemen bangsa. (*)
*) Penulis adalah Aktivis Budaya Nahdlatul Ulama