Cirebon, radar96.com – Konflik internal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) kembali menjadi perhatian publik setelah munculnya sejumlah narasi yang dinilai berpotensi membenturkan otoritas kiai sepuh kultural dengan kiai sepuh struktural (Syuriah). Hal ini disampaikan oleh KH Imam Jazuli, Lc, MA, Pengasuh Pesantren Bina Insan Cendekia dalam pernyataan reflektifnya terkait dinamika pasca-Pleno PBNU 9–10 Desember 2025, yang secara resmi mengangkat KH Zulfa Musthofa sebagai Penjabat (Pj) Ketua Umum PBNU.
Menurut KH Imam Jazuli, meskipun PBNU secara struktural telah mengambil keputusan melalui mekanisme resmi organisasi, sebagian akar rumput Nahdliyin masih disuguhi narasi tandingan dari kelompok pendukung mantan Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya).
“Kubu Gus Yahya terus membangun narasi bahwa kiai sepuh kultural mendukungnya. Padahal tindakan ini justru upaya membenturkan kiai sepuh kultural dengan kiai sepuh struktural (Syuriah dan Rais Aam), yang secara organisasi merupakan representasi tertinggi para kiai,” tegasnya pada Kamis (11/12/25).
Syuriah Sebagai Otoritas Tertinggi: Keputusan Bersifat Mengikat
KH Imam Jazuli menegaskan bahwa Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) NU telah menempatkan Syuriah sebagai pemegang otoritas tertinggi jam’iyyah.
“Syuriah bertugas membina, mengawasi, dan mengambil keputusan strategis yang mengikat seluruh jajaran Tanfidziyah. Rais Aam berada di puncak hierarki tersebut,” jelasnya.
Keputusan Syuriah untuk memberikan teguran, evaluasi, hingga pemberhentian Ketua Umum Tanfidziyah, menurutnya, merupakan bagian dari mekanisme konstitusional yang sah dan lahir dari kearifan ulama melalui sistem Ahlul Halli wal Aqdi (AHWA).
Klaim Kiai Sepuh: Antara Mobilisasi dan Delegitimasi
KH Imam Jazuli mengkritisi upaya kubu Gus Yahya yang, menurutnya, berlindung di balik klaim dukungan kiai sepuh non-struktural, tanpa melalui forum resmi organisasi.
“Ini menciptakan paradoks. Kelompok tanfidziyah justru mencoba mendeligitimasi Syuriah—yang merupakan otoritas tertinggi—dengan menarik otoritas kultural dari luar struktur. Padahal kearifan kultural sudah termanifestasi dalam Syuriah itu sendiri,” ujarnya.
Ia menyoroti forum-forum kecil seperti pertemuan Tebuireng atau Jombang yang hanya dihadiri sebagian kecil mustasyar.
“Dari tiga puluh mustasyar, hanya tujuh yang hadir. Lalu klaim bahwa ‘kiai sepuh mendukung’ tentu jauh dari representatif, apalagi jika digunakan untuk membatalkan keputusan Syuriah,” tegasnya.
Keragaman Suara Kiai Sepuh Se-Indonesia
KH Imam Jazuli menegaskan bahwa kiai sepuh NU sangat beragam dan tersebar di seluruh Indonesia, sehingga tidak bisa diwakili oleh satu forum lokal.
“Ada ribuan pesantren NU—sekitar 36 ribu—dengan ribuan kiai sepuh. Sikap kiai Bangkalan, Cirebon, hingga Krapyak berbeda dengan forum Ploso dan Tebuireng. Jadi klaim suara tunggal kiai sepuh itu tidak valid,” tuturnya.
Menurutnya, tindakan melokalisasi dukungan ulama justru menggerus prinsip musyawarah (syura) yang menjadi pilar utama NU.
Ancaman Terhadap Marwah dan Struktur Organisasi NU
Penggunaan klaim kiai sepuh di luar jalur struktural dinilai KH Imam Jazuli sangat membahayakan bangunan organisasi.
“Jika keputusan Syuriah dapat dinegosiasikan melalui klaim dukungan di luar struktur organisasi, maka marwah NU sebagai organisasi keulamaan akan runtuh. Ini menciptakan preseden buruk,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa narasi yang dibangun kelompok Gus Yahya sesungguhnya memecah belah warga NU.
“Narasi membenturkan kiai sepuh kultural dengan Rais Aam dan Syuriah tidak hanya memperdalam polarisasi, tetapi juga melemahkan legitimasi organisasi. Ini langkah yang sangat berbahaya bagi masa depan NU,” tegas KH Imam Jazuli.
Menjaga Khittah dan Ketaatan pada Konstitusi Organisasi
KH Imam Jazuli menutup pernyataan dengan mengajak seluruh warga NU kembali kepada khittah organisasi.
“Syuriah dan Rais Aam adalah manifestasi sah dari otoritas para kiai sepuh. Menegakkan keputusan Syuriah adalah menjaga marwah jam’iyyah dan AD/ART NU itu sendiri,” pungkasnya.


