Oleh Dr. Rubaidi, MAg.
Mari sejenak merenungkan….!! Untuk siapa sesungguhnya wahyu al-Qur’an itu? Tapi, sebelum melanjutkan perenungan ini, mari kita lapangkan dada, kata orang Jawa, jembar segorone, berfikir jernih, dan kepala dingin. Jangan mudah menghukumi, meng-judgment, lebih-lebih menyalahkan terlebih dahulu. Pembahasan ini terkait dengan ngaji dimensi hakiki atau hakekat. Karena itu, jangan melihatnya dengan kacamata fiqih atau perspektif syariat, tentunya akan menimbulkan problematis, alias kontradiksi.
Pada malam pengajian majelis shalawat itu, sang mursyid secara khusus membahas tentang hakekat al-Qur’an. Saat pengajian dimulai, sang guru sudah melemparkan wacana baru yang tentu saja asing di telinga kita pada umumnya. Begitu dawuh, jare wong jowo, saya sempat jenggirat alias kaget, bagai disambar petir di siang bolong. Dawuhnya kira-kira begini; “al-Qur’an itu bukan untuk kita. Al-Qur’an itu (pada awal mulanya, khusus) untuk pribadi Rasulullah,” tegasnya.
“Piye toh iki,” Guman saya berkecamuk dalam hati kecil. Padahal, pemahanan atau doktrin selama ini, al-Qur’an adalah kitabnya umat Islam dan petunjuk umat Islam. Kalau disempitkan lagi; (1) petunjuk untuk orang-orang muttaqin, (2) petunjukkan untuk orang yang beriman, dan (3) petunjuk untuk manusia. Dalam bahasa al-Qur’annya; (1) Hudan li al-Muttaqin, (2) Ya ayyuha al-dlidzina amanu, dan (3) Hudan li an-Nas.
Lalu, kok al-Qur’an itu hanya untuk Rasulullah? “Rasulullah itu al-Qur’an berjalan. Iya memang. Karena wahyu itu untuk Rasul. Bukan untuk kita,” sambungnya. Sampai di sini tambah bingung saya, tapi saya semakin penasaran. “Lha kitabmu yang mana? Kitabmu itu ya apa yang tertulis dalam dirimu, dalam perjalanan hidupmu sendiri. Ya itu kitabmu,” sambungnya saat saya mencoba menyanggah dengan pertanyaan kitab saya itu apa? Begitu.
Sampai di sini saya merenung lagi. “Apa hubungannya kitabku dan kitabnya Rasul atau al-Qur’an,?” tanya saya memberanikan diri. “Al-Qur’an dengan ayat-ayatnya itu diturunkan kepada Rasulullah kan? Apa ayat-ayat itu diturunkan kepada sampean langsung? Yang menerima langsung itu siapa? Kan Nabi Muhammad,” sambungnya lagi. “Mungkin kitabmu ada yang sesuai dengan al-Qur’an, baik sedikit atau banyak,” jawab sang guru tersebut. Hhhhmmm….. mulai dong sedikit saya ini.
Kitab al-Qur’an tidak lain adalah perjalanan hidup Rasulullah. Seluruh perjalanan hidup Rasulullah ya itu tadi dituangkan dalam ayat-ayat al-Qur’an. Di kemudian hari, para pengikut Nabi Muhammad atau umat Islam menyebutnya dengan Kitab Suci al-Qur’an. “Apa kamu tahu yang dimaksud alif lam mim, Khaf Ha Ya Ain Siin Khof, Alif Lam Ra’ ? Kalau memang itu kitabmu, kamu pasti tahu artinya,” sambungnya lagi. “Kalau Rasulullah ditanya tentang makna suluruh ayat al-Qur’an? Ya pasti tahu, karena itu memang perjalanan beliau!. Karena al-Qur’an berisi perjalanan beliau, berarti semua telah dilakukan atau berdasarkan praktek kehidupan sehari-hari beliau. Karena telah dilakukan dan dialami tentu saja faham,” tegasnya lagi.
Lalu bagaimana hubungannya dengan Ya Ayyuha al-Ladlina amanu, Hudan li al-Muttaqin, Hudan li an-Nas? Ketiganya sesungguhnya makna satu. Makna Amanu dan Muttaqin adalah orang-orang yang perjalanan hidupnya seperti Rasulullah. Hal ini sesuai dengan hadist “al-Ulama warasatu al-Ambiya’. Yang dimaksud dengan ulama di sini adalah orang-orang yang beriman dan muttaqin. Makna ulama di sini bertingkat; ada ulama secara umum, ulama khos, dan khowas al-khowas. Dengan kata lain, makna “Al-Ulama warasatu al-Ambiya” tidak lain adalah para kekasih Allah kalau dalam bahasa al-Qur’an adalah Auliya’. Dengan kata lain, makna ulama itu luas dalam pengertian umum dan khusus.
Sampai di sini, saya memberanikan diri bertanya lagi. “Lha itu, yang dimaksud dengan Hudan li an-Nas itu bagaimana,?” “Coba artikan!,” Pintanya. “Petunjuk bagi manusia,” jawab saya. “Coba ulangi lagi,” Pintanya. Saya ulangi lagi. Manusia itu maknanya, manusia yang bagaimana? Manusia yang seperti apa? Jawabnya tidak lain yang Rasulullah sendiri dan orang-orang yang beriman dan muttaqin tadi. Karena itulah, ketiga arti tadi maknanya tetap kembali satu arti. Makna manusia di sini bukan untuk umum. Bukan manusia di sini tetap khusus, yaitu orang beriman, lebih-lebih muttaqin. Yakni, manusia pilihan yang perjalanan hidupnya seperti perjalanan hidup Rasulullah. Manusia yang seperti ini tahu semua makna al-Qur’an. “Kalau kamu tanya kepada manusia seperti itu tentang semua ayat al-Qur’an dia bisa menjawabnya. Karena perjalanannya ya menjalankan ayat-ayat al-Qur’an tersebut,” jelasnya. “Oooohhh…..begitu ya,” guman saya sambil membatin.
Ditambahkan oleh sang guru tadi, ciri-ciri tentang orang yang beriman dan muttaqin adalah orang-orang yang diberi Allah ayat al-Qur’an “Ya’lamu ma baina aidihim wa ma khalfahum” dan “‘Allama al-Insana ma lam Ya’lam.” Dari sini, saya semakin faham, bahwa al-Qur’an adalah kitab perjalanan Rasulullah dan para kekasih Allah karena dua kategori manusia ini menjalankan perjalanan Rasulullah. Ibaratnya, para kekasih Allah seperti “photo copy” Rasulullah itu sendiri. Dengan demikian, hakikinya al-Qur’an bukan perjalanan (kitab) setiap orang. Karena tiap orang memiliki perjalanan berbeda.
Untuk menjelaskan dalil ini, sabg mursyid pernah menerangkan surat al-Ankabut: 45. “Coba jalankan 1 ayat ini saja. Usiamu kamu habiskan tidak akan bisa,” Tegasnya. Ayat al-Ankabut: 45 berisi tentang “Sesungguhnya Shalat itu dapat mencegah seseorang dari perbuatan keji dan munkar….” “Dan mengingat Allah jauh lebih besar.” “Ayat ini telah dijalankan oleh Rasulullah. Para kekasih juga menjalankannya. Coba manusia biasa menjalankan satu ayat ini saja. Bisa apa tidak,” pungkasnya.
Sang mursyid yang pertama tadi menegaskan. “Tidak usah jauh-jauh ayat yang lain, kalau memang al-Qur’an untuk kamu, jalankan lafalt Bismillahirrahmanirrahim kalau bisa,” Demikian ungkapnya mengakhiri. Makna Ar-Rahman dan Ar-Rahim di sini, dapatkah (dalam bahasa ingrishnya) ayat itu embodied dalam diri dan perilaku kita. Suatu perilaku dan sifat ar-Rahman dan ar-Rahim terhadap siapa saja. Bahkan, perilaku ini diterapkan terhadap umat manusia tanpa kecuali. Bagi Rasulullah dan orang yg beriman atau muttaqin bisa menjalankan dan menegakkan kedua makna tersebut. “Sedangkan umat Islam kebanyakan bagaimana? Bisakah menjalankan? Dengan satu golongan saja masih iri dengki! Apalagi dengan golongan lain atau umat lain!,” sindirnya.
Sampai di sini….saya pun merenung! (*)
*) Penulis adalah penulis buku dan dosen Fakultas Tarbiyah dan Kependidikan (FTK) UIN Sunan Ampel (UINSA) Surabaya, yang konsens di bidang pemikiran Islam dan urban sufisme