Surabaya, radar96.com/MAS – Sejumlah anggota dari Komunitas Katholik Mandarin atau Komunitas Pendalaman Iman Katolik dan Pelayanan (KPIKP) Keuskupan Surabaya mengunjungi Masjid Nasional Al-Akbar Surabaya (MAS) di Jalan Pagesangan, Kecamatan Jambangan, Kota Surabaya, Jumat (10/1) petang.
Kunjungan anggota KPIKP Surabaya yang didampingi dua anggota Gerakan Gusdurian (Gerdu) Suroboyo itu diterima oleh dua kepala seksie (kasie) dari BPP MAS yakni H Abd Choliq Idris (Kasie Ibadah dan Dakwah, Bidang Imarah, BPP MAS) dan H Hendro Tjahjono (Kasie Pengamanan dan Hubungan Antar-Lembaga BPP MAS).

“Kami ke Masjid Al-Akbar untuk menemani dua Romo (pemuka Agama Katholik) dari Malaysia. Bagi kami, Masjid Al-Akbar itu tempat ibadah yang penting di Surabaya, karena masjid ini juga sering menerima kunjungan non-Muslim,” kata Romo Josef Cui dari KPIKP Surabaya.
Saat menerima kunjungan itu, Kasie Ibadah dan Dakwah (Imarah) BPP MAS H Abd Choliq Idris menjelaskan MAS yang diprakarsai mantan Wali Kota Surabaya Soenarto (Cak Narto) pada 1995 dan diresmikan Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada 2000 itu dibangun dekat gereja.
“Masjid yang dibangun dari bekas lahan persawahan ini memang bertetangga dengan Gereja Sakramen Mahakudus Surabaya. Kami sudah terbiasa saling bersilaturrahmi dan kalau ada acara besar pun saling pinjam lokasi parkir,” katanya.
Misalnya, saat hari raya Idul Fitri pada Mei 2024, sebanyak lima pengurus Gereja Sakramen Mahakudus Surabaya bersilaturrahmi kepada Ketua BPP MAS DR KHM Sudjak dan jajaran pengurus BPP MAS. Mereka mengucapkan “Selamat Hari Raya” dan mohon maaf atas kesalahan sebagai tetangga.
“Nabi Muhammad sendiri mencontohkan toleransi hidup berdampingan dengan Nasrani, Yahudi, dan musyrik (komunitas yang tidak memiliki Nabi dan kitab suci). Sejak ada Nabi, semuanya hidup rukun dengan Piagam Madinah, padahal dulu sering perang antar-suku,” katanya.
Saat berkeliling Masjid Al-Akbar dari lantai dasar, ruang utama, hingga lantai 2, ustadz H Abd Choliq Idris memaparkan bahwa ruang utama MAS memang sangat lebar, karena tanpa tiang yang banyak, sehingga terasa leluasa. “Ini karya arsitektur ITS,” katanya.
Selain bangunan fisik, Masjid Al-Akbar juga memiliki lembaga pendidikan berbasis masjid yang bermula dari “Al-Akbar Education Center” (AEC) berupa pelatihan bengkel, tata boga (kue), dan sebagainya, lalu ada TPQ (taman pendidikan Qur’an) khusus orang tua.
Setelah itu, Masjid Al-Akbar merintis “ma’had ali”, lalu berkembang menjadi sekolah tinggi ilmu ushuluddin (STIU), yang akhirnya menjadi sekolah tinggi agama Islam (STAI) dengan prodi PGMI, ekonomi syari’ah, dan tafsir, maka lulusan prodi PGMI itu ada TK, lalu lulusan TK minta MI, dan lulusan MI minta MTs. (*/mas)