Seiring dengan semakin meningkatnya ancaman ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme di lndonesia, kondisi rawan yang mengancam hak atas rasa aman dan stabilitas keamanan nasional pun tercipta, maka dalam upaya pencegahan dan penanggulangan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme, diperlukan suatu strategi komprehensif, untuk memastikan langkah yang sistematis, terencana, dan terpadu dengan melibatkan peran aktif seluruh pemangku kepentingan.
Berdasarkan pertimbangan itu, maka pemerintan menetapkan Peraturan Presiden tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme Tahun 2020-2024 (RAN PE).
Perpres Nomor 7 Tahun 2021 tentang RAN Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme berbasis Kekerasan yang mengarah pada Terorisme itu bertujuan untuk meningkatkan perlindungan hak atas rasa aman warga negara dari Ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada Terorisme sebagai bagian dari pelaksanaan kewajiban negara terhadap hak asasi manusia dalam rangka memelihara stabilitas keamanan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
RAN Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme berbasis Kekerasan yang mengarah pada Terorisme tahun 2020-2024 merupakan definisi dari serangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan terencana untuk mencegah dan menanggulangi Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme yang digunakan sebagai acuan bagi kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah dalam melakukan pencegahan dan penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme.
Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme yang selanjutnya disebut PE adalah upaya yang dilakukan secara sistematis, terencana, dan terpadu dalam rangka mencegah dan menanggulangi ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme.
Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme adalah keyakinan dan/atau tindakan yang menggunakan cara-cara kekerasan atau ancaman kekerasan ekstrem dengan tujuan mendukung atau melakukan aksi terorisme.
Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.
Peraturan Presiden Nomor 7 tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme berbasis Kekerasan yang mengarah pada Terorisme (RAN PE) tahun 2020-2024 itu ditetapkan Presiden Joko Widodo di Jakarta pada tanggal 6 Januari 2021.
Selanjutnya, Peraturan Presiden tentang RAN PE tahun 2020-2024 itu diundangkan di Jakarta oleh Menkumham Yasonna H. Laoly pada tanggal 7 Januari 2021, ditempatkan pada Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 9.
“Humane Policing”
RAN PE itu erat kaitannya dengan “Humane Policing” atau Pemolisian Masyarakat atau Polmas (Community Policing). Saya membuka internet menemukan tulisan tentang “humane policing,” menarik dibaca tentang sosok polisi bernama Darren Spencer di Colorado, Amerika Serikat, yang berhenti dari pekerjaannya sebagai polisi karena alasan kesehatan.
Saat bertugas, dia menangani berbagai kasus misalnya kasus pembunuhan, perdagangan senjata, narkoba, dan berbagai kasus lainnya. Dia kemudian mengatakan, “The statistic I am most proud of is that over 90% of the people I arrested thanked me” (Saya sangat bangga bahwa bahwa 90% orang yang saya tangkap berterima kasih kepada saya).
Tentu, statemen Darren itu terdengar aneh. Orang yang dia tangkap berterima kasih terhadapnya. Mengapa? Jawabannya antara lain dapat dibaca pada pernyataan John Cooke (mantan atasan Darren selama 20 bulan yang kemudian menjadi senator). Kata John, Darren memperlakukan semua orang dengan cara humanis, penuh hormat, dan adil, sehingga para penjahat mau bekerja sama dengannya selama proses hukum berjalan.
Darren memperlakukan orang dengan hangat dan secara bersahabat. Memang ada keadaan dimana tindakan keras, verbal dan nonverbal harus dilakukan, tetapi tindakan demikian bukanlah tindakan yang selalu harus dilakukan. Darren sangat sabar, pengertian, dan memiliki sifat empati, yang semuanya itu merupakan modal yang sangat penting, bahkan saat berhubungan dengan penjahat sekalipun.
Darren mengembangkan apa yang disebut dengan “humane policing”. Pertama, melatih para instruktur untung mengajar konsep, teknik, dan pendekatan “humane policing” kepada para polisi. Kedua, melatih program “humane policing” dan “public image.” Ketiga, “public speaking” untuk mampu berkomunikasi dengan baik agar mendapat dukungan masyarakat. Keempat, membentuk tim asistensi berkaitan dengan aspek finansial.
Darren percaya bahwa “humane policing” tidak hanya membuat tugas-tugas polisi menjadi mudah, melainkan juga akan meningkatkan hubungan dengan masyarakat yang dilayani oleh polisi, dan juga akan meningkatkan persepsi publik kepada aparat penegak hukum.
Berbagai giat kepolisian terlihat “Humanis” itulah wujud dan karakter polisi Indonesia sebagaimana nenek moyang kita selalu saling tolong menolong, menabuh kentongan saat ada kebakaran dan kegiatan masyarakat kampung yang guyub, dan itu berjalan bertahun-tahun dengan adanya Pos Kamling di desa-desa.
Giat Kepolisian sudah memperlihatkan sisi sisi humanis banyak. Polisi membantu korban kebanjiran dan bencana alam, membantu anak yatim piatu, membantu dan membagi makanan anak-anak jalanan, terlantar dan pemulung, membangun rumah fakir miskin, membantu lansia, ibu melahirkan dari desa pedalaman ke puskesmas, serta beberapa hal lain yang bahkan berisiko terhadap keselamatan diri anggota polisi.
Dalam Perkap No. 3 Tahun 2015, Community Policing (CP) itu dalam pelaksanaannya yaitu melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses pelaksanaan tugas kepolisian, senada dengan yang dicantumkan dalam Pasal 3 huruf (c) bahwa Polmas dilaksanakan dengan prinsip kemitraan, yaitu kerja sama yang konstruktif antara pengemban polmas dan masyarakat/komunitas dalam rangka pemecahan masalah sosial, pencegahan/penanggulangan gangguan keamanan dan ketertiba.
Pasal 4 huruf (a) bahwa Falsafah Polmas mengatakan masyarakat bukan hanya merupakan objek pembinaan melainkan subjek yang aktiv dalam menjaga kamtibmas, (b) penyelenggaraan keamanan tidak akan berhasil bila hanya dilakukan oleh Polri, melainkan harus bersama-sama dengan masyarakat menangani permasalahan Kamtibmas.
Fungsi Polmas mengajak masyarakat melalui kemitraan dalam rangka pemeliharaan dan mencegah gangguan Kamtibmas, mendeteksi, mengidentifikasi, menganalisis, menetapkan prioritas masalah dan merumuskan pemecahan masalah Kamtibmas.
Polisi dalam paradigma community policing mendorong masyarakat untuk menyadari bahwa keamanan merupakan tanggung jawab bersama dan oleh karena itu masyarakat didorong aktiv dalam upaya menjaga keamanan dan ketertiban. Dalam community policing, polisi dan masyarakat bekerjasama mencari solusi atas permasalahan kondisi Kamtibmas. Pada akhirnya community policing / Pemolisian Masyarakat akan membentuk masyarakat menjadi polisi bagi dirinya sendiri.
Community policing menekankan kepada kemampuan interpersonal (kemampuan kepribadian dalam membangun hubungan baik antar manusia). Pasal 22 mengatakan bahwa indikator keberhasilan Polmas dalam hubungannya dengan masyarakat adalah dengan meningkatnya komunikasi dengan masyarakat, meningkatnya kegiatan FKPM (Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat), meningkatnya pemberian informasi oleh masyarakat, meningkatnya kerjasama penyelesaian masalah.
Tugas Pengemban Polmas; melaksanakan pembinaan masyarakat, deteksi dini, negosiasi/mediasi, identifikasi dan mendokumentasi data komunitas, melaksanakan bimbingan dan penyuluhan, melaksanakan komunikasi dan koordinasi ditempat penugasannya yang berkaitan dengan kondisi Kamtibmas. Adapun Wewenang Pengemban Polmas diantaranya menerima tentang permasalahan Kamtibmas, mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat.
Pelaksanaan Program Polmas :
- Perlu partisipasi masyarakat dalam proses pelaksanaan tugas kepolisian, bukan hanya sebagai objek tapi sebagai subjek.
- Perlu sosialisasi program Polmas secara luas kepada masyarakat.
- Perlu nota kesepahaman bersama institusi pemerintah daerah sehingga program Polmas mendapat dukungan yang memudahkan pelaksanaannya.
Pencapaian Polmas :
- SDM Polmas harus memiliki kemampuan interpersonal yang baik, maka perlu pelatihan peningkatan kemampuan ini.
- Masyarakat membentuk organisasi nirlaba di luar Polri yang bergerak di bidang Polmas lengkap dengan AD/ART yang sesuai dengan falsafah Polmas.
- Secara berkala dilakukan penelitian dan evaluasi mengenai pelaksanaan Polmas dan kendala yang dihadapi.
(Maksum Zuber: Ketua Umum Rumah Kamnas/Penasehat Laman Radar96.com )
Sumber:
Perkap No. 3 Tahun 2015 tentang Pemolisian Masyarakat
http://www.kompasiana.com/andarurahutomo/analisa-perkap-no-3-tahun-2015-tentang-pemolisian-masyarakat_56420f89e6afbd5415d160d2
Saifuddin Bantasyam, Dosen Fakultas Hukum Unsyiah https://aceh.tribunnews.com/2020/07/01/humane-policing (di ambil, 20/01/2021)