Oleh Dr Rubaidi MAg *)
Bagi kalangan tasawuf, ketiga kata tersebut ternyata memiliki derajat makna berbeda. Bagaimana penjelasan dari ketiga makna kata dimaksud. Mari kita kupas satu persatu berdasarkan seorang guru tasawuf.
SYUKUR dalam wujudnya adalah ucapan seseorang di saat ia mendapat nikmat atau anugerah Allah dalam wujud apapun sesuai dengan yang ia kehendaki. Wujud syukur itu bisa dalam ucapan lisan berupa “Alhamdulillah” atau kata itu cukup diucapkan dalam batin atau hati. Tingkatan SYUKUR yang demikian biasanya berlaku untuk umum (umat Islam pada umumnya).
“Kalau sekadar mengucapkan alhamdulillah, anak kecil saja bisa,” tandas sang guru sambil tertawa renyah. “Tapi, syukur dengan ucapan alhamdulillah iku wes apik,” tegasnya lagi yang disambut ger-geran jamaah. Dengan halus sebenarnya dawuh itu menohok perilaku jamaah. Karena itulah yang tertawa saat disentil dengan bentuk syukur yang hanya berhenti pada ucapan lisan berupa alhamdulillah merasa disentuh hatinya. Bahwa, wujud syukur bukan sekedar dalam bentuk ucapan semata walaupun itu benar.
BERSYUKUR adalah tingkatan kedua yang lebih tinggi dari yang pertama, yakni Syukur. Wujud dari bersyukur bukan lagi pada ucapan seseorang. Sebaliknya, bersyukur ekspresinya adalah tindakan nyata berupa “membuang” kembali nikmat, rezeki (materi), maupun bentuk pemberian Allah lainnya kepada orang lain yang berhak mendapatkannya.
“Njenengan ingin ngerti makna BERSYUKUR tah,” tanya sang guru kepada para jamaah. “Nggih Gus,” jawab jamaah seperti paduan suara dengan nada koor menjawab serentak. “Sopo iku…kesini. Kemaren sampean kasih uang ke aku kan. Yo iku bentuk Bersyukur mu,” tandas sang guru. “Sampean kerja keras dan sebagian rezeki dikasihkan ke saya. Itu hakekat bersyukur yang sebenarnya,” tambahnya lagi.
MENSYUKURI memiliki tingkatan yang lebih tinggi dari kedua. Wujud nyata dari mensyukuri berupa perilaku seseorang yang mendapat rezeki atau kenikmatan dalam bentuk apapun hanya berhenti pada tangan-tangan orang yang menerima. Rezeki yang diterima tidak dimiliki namun disalurkan kembali kepada orang lain yang lebih membutuhkan. Orang-orang seperti ini dapat dibaratkan seperti talang air yang berfungsi hanya menyalurkan air yang mengalir ke berbagai penjuru bumi.
“Pingin ngerti praktek MENSYUKURI tah?,” tanya sang guru lagi menjelaskan makna ketiga yang lebih tinggi dari makna pertama dan kedua. Untuk kali ini, tanpa menunggu jawaban jamaah, sang guru mengambil buah apel di hadapannya. “Eeh, sopo iku, tangkap apel ini. Ayo sampean makan,” ungkap sang guru. Yo iki hakekat menyukuri. “Apel iki milik siapa? Tuan rumah kan? Diberikan untuk siapa?,” tanyanya. “Buat Gus….,” jawab jamaah kompak. “Apel ini saya makan tidak?,” “Mboten….,” jawab jamaah lagi.
“Makane, ojok heran kalau sampean-sampean memberi ke saya, lalu saya berikan kepada orang lain,” sambung sang guru menjelaskan hakekat makna mensyukuri tadi. Sambil berbisik, seorang jamaah di sebelah saya mengatakan. “Aku disindir Gus wes.” “Looh, kenapa,” tanya saya setengah menyelidik. “Kemarin saya membelikan baju mahal buat Gus. Eeh, ternyata saya lihat dipakai seorang jamaah. Ya itu. Persis yang dipakai itu,” gumannya setengah kecewa, karena dia berharap baju mahal yang dibelinya itu dikenakan sang guru.
Ciri yang ketiga ini biasanya dimiliki oleh orang-orang khusus. Dalam bahasa al-Qur’an disebut sebagai al-‘Arif atau waliyullah. Karena itu ciri utama orang-orang yang dekat pada Allah suka memberi. Para ulama khowas persis mewakili filisofi talang air yang menerima rezeki dari banyak orang, namun hanya berhenti di tangan saja untuk kemudian didistribusikan kepada orang yang membutuhkannya. Sifat memberi menjadi ciri utama yang dipastikan melekat pada setiap kekasih Tuhan. Sementara, sifat memberi adalah sifat Allah.
*) Penulis adalah penulis buku dan dosen Fakultas Tarbiyah dan Kependidikan (FTK) UIN Sunan Ampel (UINSA) Surabaya, yang konsens di bidang pemikiran Islam dan urban sufisme.