Oleh Adhie M Massardi *)
Tiada persoalan dunia yang bisa membuat Gus Dur gusar, kecuali menyangkut nasib dan perkembangan NU (Nahdlatul Ulama).
Menjalani hari-hari menjelang pelengserannya dari kursi kepresidenan oleh parlemen yang mayoritas anggotanya dari PDIP, parpol pimpinan Megawati, yang notabene wakilnya di Kabinet Persatuan Nasional, Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid, Presiden RI ke-4) tidak mengubah sama sekali perangainya yang ceria, penuh humor, dan santai.
“Tidak ada jabatan di dunia ini yang layak dipertahankan mati-matian, apalagi dengan tetesan darah,” kata Gus Dur kepada setiap orang yang datang untuk memberikan dukungan moral, baik sebelum maupun setelah MPR-RI menggelar Sidang Istimewa (23 Juli 2001) menetapkan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden ke-5 RI yang berarti menyingkirkan Gus Dur dari Istana.
Benar, dalam menjalankan amanat Konstitusi sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, Gus Dur super serius. Dia ngontrol sepak terjang anggota kabinetnya. Untuk itu, Gus Dur seperti memiliki banyak mata dan telinga.
Itu sebab di era Gus Dur tidak ada “musim reshuffle” untuk mengganti menterinya. Begitu ada indikasi korupsi yang terkonfirmasi, si menteri bisa langsung dicopot. Tak peduli itu menteri dari parpol koalisi. Tentu, setelah itu, Gus Dur minta gantinya dari parpol asal si menteri yang korupsi itu. Ini untuk menjaga “persatuan nasional”.
Kementerian di sektor ekonomi yang dipimpin DR Rizal Ramli juga jadi perhatian khusus Gus Dur. Itu sebab di sektor (ekonomi) ini pemerintahan Gus Dur tetap on the track, keberpihakannya kepada rakyat sangat kuat. Dan nyatanya memang sukses.
Konsep Gus Dur dalam mengelola pemerintahan tidak menggunakan instrumen “politik kekuasaan” membuat kementerian di sektor “politik dan keamanan” di bawah Menko Polhukam Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak mendapat perhatian khusus.
Mungkin itu sebabnya di sektor “polkam” inilah kabinet Gus Dur paling kedodoran. Komunikasi politik antara lembaga kepresidenan dan parlemen berantakan. Banyak salah informasi. Mis-leading. Tapi anehnya, ketika SBY jadi presiden, bisa aman terkendali hingga dua periode (2004-2014).
Presiden Menangis
Guyon. Selalu ada joke dalam setiap pertemuan dengan siapapun. Bahkan dalam sidang kabinet acap dibuka dan ditutup dengan joke. “Gitu aja koq repot!,” ujar Gus Dur, ucap yang terlontar begitu saja.
Jabatan presiden yang diperebutkan para politisi dengan mempertaruhkan apa saja, termasuk harga diri dan kebohongan, uang korupsi atau uang pinjaman dari oligarki yang lebih jahat dari lintah darat, bagi Gus Dur bukan sesuatu yang layak dipertahankan.
Itu sebabnya, setiap saya gelisah, karena panggung politik sangat berisik, segera ke Istana. Bertemu Gus Dur. Makan siang bersama. Mendengar kelakar Sang Big Bos. Hati kembali bugar. Sebagai jubir presiden, jadi bisa menyampaikan segala sesuatu dengan benar. Tegar.
Selama bersama Gus Dur, baik saat di Istana maupun setelah lengser (2000-2009), hanya ada satu peristiwa yang benar-benar mengguncang hati.
Ketika itu tahun 2001. Tengah hari. Masih di Istana. Tiba-tiba ajudan minta saya dan Yahya Staquf untuk segera menghadap Presiden.
Di ruang kerja, Gus Dur tampak gusar. Suasana ruangan jadi terasa mencekam. Lalu Gus Dur bicara. Suaranya bergetar. Terbata-bata. Gus Dur terisak. Presiden menangis!
Sampai sekarang saya tidak bisa menceritakan peristiwa ini tanpa emosi. Tanpa hati tergetar. Selalu terbayang perasaan dan kesedihan Gus Dur. Apa yang dirasakan Gus Dur tentu sangat menusuk hati. Manusia dengan konsep berpikir “Gitu aja koq repot” pun ternyata bisa juga terguncang hatinya.
Ketika itu Gus Dur “curhat” tentang apa yang diketahuinya tentang beberapa tokoh petinggi PBNU. Mereka menyalahgunakan NU untuk kepentingan pragmatis. Istilah gampangnya, mereka “menjual” NU.
Meskipun saya yakin Gus Dur sudah mendapat konfirmasi adanya beberapa petinggi NU “menjual” organisasi untuk kepentingan pribadi itu, tapi tetap meminta kami untuk menyelidiki kebenaran soal ini. Seolah Gus Dur ingin mendengar bahwa semua itu “kabar bohong”.
“Kalau jabatan saya sebagai Presiden yang mereka jual, saya masih bisa memaafkan. Tapi tidak untuk NU. Ini kan organisasi yang dibangun susah payah oleh kakek saya,” kata Gus Dur terbata-bata.
Klaim Gus Dur soal NU ini memang sangat logis. Faktanya ormas Islam tradisional terbesar ini memang diinisiasi oleh kedua kakeknya, dari garis ayah dan garis ibu. Komplet.
Kakek dari garis ayah (KH Wahid Hasyim) adalah Hadratussyaikh (mahaguru) KH Hasyim Asy’ari pendiri pondok pesantren Tebu Ireng, sedangkan kakek dari garis ibu (Nyai Hj Sholihah Bisri) adalah KH Bisri Sansyuri, pendiri pondok pesantren Denanyar, keduanya di Jombang, Jawa Timur.
Bursa Politik Uang (dan Jabatan)
Dengan kemampuan politik dan kharisma “darah biru” NU yang super kental, Gus Dur sukses mimpin NU selama tiga periode (1984-1999), dan menjadikan ormas para ulama tradisional ini kembali ke Khittah 1926, dan menjadi “payung besar”, sekaligus menggirahkan gerakan masyarakat sipil (civil society).
Tapi pasca reformasi, lebih-lebih setelah lengser dari Istana, Gus Dur tidak lagi bisa mengontrol NU. Padahal iklim politik (elektoral) yang berkembang di Indonesia sejak 2004 adalah “demokrasi kriminal”, sistem pemilihan umum yang mengandalkan kekuatan uang, pencitraan, dan manipulasi suara yang diatur penyelenggara (KPU).
Tentu saja dengan pengikut yang super besar, dalam sistem demokrasi yang rusak, NU menjadi lumbung suara yang “marketable” dan menggiurkan para makelar politik.
Sejak itu, NU tercatat (listing) di “bursa (politik) uang” yang kalau dianalogikan dengan pasar modal (saham) berkategori blue chip. Menggiurkan. Terutama di musim pemilu, baik pilpres, pileg maupun pilkada.
Kalau Gus Dur masih hidup dan melihat kondisi NU saat ini, niscaya apa yang saya dan Yahya Staquf saksikan di Istana pada 2001 akan terjadi lagi. Bahkan lebih parah dan lebih perih dari waktu itu.
Akan tetapi, bisa juga, jika Gus Dur masih hidup, akan kian senang, karena salah seorang kadernya yang sudah diproyeksikan mimpin NU ke depan, KH Yahya Cholil Staquf, kini benar-benar jadi nakhoda organisasi yang diinisiasi kedua kakeknya.
Saya percaya, Yahya akan senantiasa ingat peristiwa saat itu, peristiwa ketika Gus Dur menangis mendengar NU “diperdagangkan” tokoh-tokohnya. Apalagi visi dan misi Yahya juga sama dengan visi misi Gus Dur saat mimpin NU. Mejadikan NU modal sosial bagi perubahan di negeri ini. Meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Tulisan ini mungkin bagus jika saya print lalu dipigura dengan bingkai yang bagus, sebagai hadiah kemenangan kontestasi pimpinan NU bagi KH Yahya Staquf untuk digantung di ruang kerjanya, sekaligus untuk mengenang (haul) Gus Dur, tokoh besar pergerakan Islam pasca kemerdekaan di negeri ini yang wafat pada 30 Desember 2009. (*)
*) Penulis adalah Jurubicara Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
*) Artikel ini ditulis sebagai catatan untuk KH Yahya C. Staquf dan Haul ke-12 Gus Dur.