Jakarta, Radar96.com – Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengatakan, pasangan Prabowo-Gibran akan merugi karena tidak memiliki legitimasi dalam pencalonan mereka. Pasalnya, putusan Mahkamah Konstitusi yang menjadi landasan kandidasi putra sulung Presiden Joko Widodo Gibran Rakabuming Raka juga cacat legalitas.
Bivitri yang juga dosen Sekolah Tinggi Hukum Jentera ini menambahkan, pencalonan Gibran mengobrak-abrik konstitusi, mencederai hukum, pun sudah terbukti melanggar etik.
“Sudah ada masalah dalam legitimasi pencalonan Gibran, karena ada masalah etik yang sudah terbukti di MKMK (Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi). Ini kan konstitusi dimainkan untuk politik,” sebut Bivitri dalam podcast yang dipandu mantan Ketua KPK Abraham Samad.
Ia menjelaskan, putusan MK atas perkara Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 cacat secara legalitas. Pasalnya, kata Bivitri, putusan itu menabrak Undang Undang Kehakiman Pasal 17 yang menerangkan bahwa hakim yang punya benturan kepentingan terhadap perkara, dalam kasus ini yaitu Gibran Rakabuming, hakim harus mundur. Ayat berikutnya, jika hakim tidak mundur, maka putusan batal.
Namun kenyataannya, tutur Bivitri, hakim Anwar Usman tidak mundur, Gibran tetap melenggang dan ditetapkan KPU sebagai Cawapres. Menunjukkan karakter sebenarnya.
“Kita lihat konteks besar, ada seseorang yang mau maju, ada hukum menghalangi. Normalnya kalau kita taat hukum, peduli pada hukum, tunggu sajalah. Ini tidak, hukumnya yang diganti dengan menggunakan kekuasaan, itu yang terjadi di negara hukum kita,” tegas Bivitri.
Lebih lanjut pasca ditetapkannya pasangan Capres-Cawapres oleh KPU kemarin, Bivitri mengajak pemilih untuk melihat logika moral dari para calon. “Pegangan kita adalah kompas moral kita. Kok bisa ada intelektual melihat suatu kesalahan tapi diam saja. Ini pertanda bahwa demokrasi kita bahaya,” tandas Vitri.
“Dan karena itu legitimasi ini sesuatu yang sangat penting, ini kan Pilpres dan ke depannya akan mengganggu proses. Sebenarnya buruk buat mereka, kalau menurut saya, orang Indonesia, semuanya bernalar, kita enggak bodoh-bodoh juga, kita bisa melihat dengan kasat mata ada benturan kepentingan, ada masalah, jadi sebenarnya legitimasinya berkurang,” jelas perempuan yang akrab disapa Vitri ini.
Tanpa Dua Legitimasi
Sementara itu, dosen komunikasi politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Nyarwi Ahmad menyoroti pencalonan Gibran yang meskipun dianggap memenuhi syarat pencalonan berdasarkan keputusan MK, kendati putusan tersebut diwarnai pelanggaran etik berat.
“Proses-proses ini yang kemudian bicara moralitas. Dalam konteks ini, Gibran secara hukum menurut putusan MK, legal. Tapi secara proses dianggap bermasalah,” sambungnya.
Nyarwi menyebut legitimasi itu disandarkan pada tingkat keterpilihan. Menurutnya, kalaupun nanti Gibran memenangi pertarungan, maka hanya ada legitimasi elektoral.
“Legitimasi ketiga dari Pemilu. Seberapa besar pemilih melihat krisis moralitas itu. Kalau nanti seandainya terpilih, ya bearti dia mendapatkan legitimasi politik, tetapi itu hanya legitimasi elektoral,” tandasnya.
Nyarwi menekankan pemimpin harus mendapatkan legitimasi komprehensif untuk menjamin kehidupan demokrasi lebih baik. “Seorang pemimpin mendapatkan legitimasi politik itu harus komprehensif. Masyarakat juga harus paham,” tegasnya.(***)