Surabaya, radar96.com – Pesantren sebagai lembaga pendidikan keimanan, akhlak, ilmu sekaligus pengamalannya kian mendapat kepercayaan masyarakat, termasuk dari masyarakat kelas menengah dan masyarakat kota, karena itu pesantren harus mampu memahami logika dan kebutuhan masyarakat kota yang cenderung lebih terbuka dalam memberikan kritik dan komentar, khususnya melalui sosial media, sehingga kalangan pesantren perlu memiliki kemampuan membangun pesan publik untuk memenangkan pertarungan narasi di era digital.
Demikian kesimpulan diskusi terfokus bertema “Pendidikan Pesantren, Media dan Spiritualitas Masyarakat Kota” yang diadakan oleh PWNU Jawa Timur bersama asosiasi pesantren NU yang tergabung dalam Rabithah Ma’ahadil Islamiyah (RMI) di Aula KH Bisri Syansuri PWNU Jatim, melalui siaran pers yang diterima, Rabu.
Dalam diskusi pra halal bihalal PCNU se-Jatim (7/5) itu, narasumber yang hadir antara lain KH. M. Iffatul Lathoif Zainuddin atau Gus Thoif (Ketua RMI PWNU Jatim), Ivan Aulia Ahsan (Pemimpin Redaksi NU Online), Hari Nugroho (Alvara Research), jurnalis senior NU, Riadi Ngasiran, dan CEO TV9 Nusantara, Hakim Jayli.
Hakim Jayli mengungkapkan Era digital dan media sosial ini adalah era perang narasi, karena itu pesantren harus siap ke sana agar nggak jadi bulan-bulanan media digital. Pesantren perlu meningkatkan kemampuannya memahami dan menyusun narasi, bersama media demi memenangkan pertarungan wacana dan perang narasi.
“Guyonan ala pesantren yang saling serang antar teman itu merupakan pendidikan mentalitas, tapi media yang nggak paham pesantren akan menilai ada bullying. Ini yang perlu diluruskan,” katanya.
Hakim menegaskan, kalangan media, khususnya media NU siap membantu pesantren dalam perang narasi itu, utamanya dalam penanganan isu atau kasus khusus yang menimpa pesantren dan menjadi sorotan publik.
Ajakan serupa juga disampaikan Pemimpin Redaksi NU Online, Ivan Aulia Ahsan, yang mengajak kalangan pesantren untuk melawan framing dari media yang tak paham dunia pesantren.
“Ada dua framing media yang menyasar dunia pesantren yakni pelecehan seksual dan bullying, padahal guyonan ala pesantren itu sudah biasa dan sudah ada sejak dulu, namun tujuannya semacam guyon saja untuk menguji mentalitas teman sekamar atau sekadar membunuh sepi,” katanya.
Namun, kalangan pesantren juga tidak perlu terlalu buru-buru memakai UU ITE, melainkan cukup bersabar dengan memberi penjelasan dan menerima permohonan maaf, agar kalangan non-pesantren memberi apresiasi dan simpati.
Sementara itu, peneliti Alvara Research, Hari Nugroho mengajak pesantren mampu membaca data dan fenomena masyarakat kota atau masyarakat urban yang hari ini yang kian religius dan menjadikan agama sebagai hal utama dalam kehidupannya, bahkan masyarakat NU yang urban kini diperkirakan sudah mencapai 60-65 persen.
Namun demikian, masyarakat kota cenderung lebih berisik, mudah melakukan komplain dan kritik terhadap apapun yang tidak sesuai dengan harapannya, termasuk tentang pesantren melalui media sosial.
“Tren Masyarakat kota memilih pendidikan Islam dan memondokkan anaknya di pesantren kian meningkat, karena itu harus sigap mengantisipasi, misalnya keterbukaan memberikan informasi yang dibutuhkan mereka,” ujar Hari.
Ketua RMI Jatim, Gus Thoif berharap RMI dan pesantren dengan diskusi kali ini akan lebih membuka diri dalam bekerjasama untuk mengoptimalkan menyusun narasi tentang substansi dan kelebihan pendidikan pesantren sebagai lembaga tafaqquh fiddin, dan sigap memanfaatkan media ketika ada kritik dan sorotan publik kepada pesantren.
Beberapa kali pesantren disorot karena kasus tertentu, yang kalau dibiarkan dan terjadi berulang bisa tidak baik bagi nama pesantren. “Selain pesantren harus mampu menjawab saat disorot, tetapi kita juga harus lihai menyampaikan keluhuran misi pesantren dalam mendidik akhlak ilmu generasi bangsa melalui medja,” harap Gus Thoif. (*/fpnu)