Oleh Dr. Rubaidi MAg *)
“Dulu, sebelum ikut ngaji kepada Gus…. (off the record), saya alergi dengan para kyai. Begitu orang membahas pesantren dan kyai, saya langsung benci. Lebih-lebih kalau disebut nama Gus Dur,” kenang salah seorang murid yang akhirnya menjadi pengikut setia “Mursyid Shalawat Muhammad” di Kota Surabaya.
Murid ini bukan orang awam. Dia adalah seorang intelektual, sekaligus profesional. Disebut intelektual, karena dia cukup lama bergesekan secara intelektual dengan simpul-simpul kaum intelektual Muslim Urban di Surabaya, Jawa Timur, bahkan nasional. Disebut profesional, karena karirnya pernah menjabat sebagai Direktur Yayasan Pendidikan Indonesia-Amerika (YPIA) yang akhirnya berganti menjadi Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Amerika (PPIA). Entah bagaimana cerita detailnya, akhirnya dia tawaddu’ kepada sang mursyid yang juga ahli hikmah.
“Kenapa kok sekarang begitu tawaddu’ dan mencium tangan bolak-balik kepada beliau. Bukankah, dulu, antipati dengan para kyai,” canda saya kepadanya. “Saya kena batunya sekarang,” jawabnya sambil tersenyum. “Anda tersesat di jalan yang benar,” timpal saya sambil bergurau. Setelah selesai ngaji bersama sang mursyid, biasanya cangkruk’an ngobrol sekenanya, saat itulah dia berkisah tentang dimensi spiritual (baca: tasawuf atau sufisme) yang dilaluinya selama dirinya mengabdi kepada gurunya.
Sebagai mantan direktur YPIA dapat dipastikan Bahasa Inggris-nya di luar kepala. Momentum di sela-sela Majelis Shalawat yang diasuh oleh sang mursyid itulah, saya manfaatkan mengasah Bahasa Inggris saya, sembari mengorek perjalanan spiritualnya. Sebab, paska turun jabatan sebagai direktur, sisa waktunya dihabiskan untuk mengabdi kepada sang mursyid. Kayak sufi urban. Pemandangan ini tentu saja, secara nalar, tidak masuk akal alias un-rasionable.
“Kenapa kok dulu begitu bencinya dengan dunia kyai,” sindir saya seperti sengaja membuka memori masa lalunya. Diskusi atau persisnya cangkruk’an ini berlangsung setelah selesai Majelis Shalawat. “Iya, bagi saya dulu melihat dunia pesantren dan kyai itu terasa aneh. Bagaimana tidak, para santri sedemikian berlebihan menghormati seorang kyai. Ingin salaman saja harus antre, bahkan berdesak-desakan. Habis itu, mereka mencium tangan kyai sampai dibolak-balik,” kenangnya.
“Lha terus kenapa sekarang sampean melakukan hal yang sama, bahkan seperti anak kecil,” sindir saya lagi sambil sama-sama ketawa. “Iya, saya salah semua menilai para kyai, terutama orang-orang seperti Gus …..yang saya sendiri menyaksikan bahwa beliau bukan orang sembarangan,” terangnya meyakinkan saya.
Beberapa tahun setelah mengabdikan dirinya kepada gurunya, dia mendapati pengalaman spiritual yang dibimbing gurunya. Bukan hanya itu, suatu saat, seluruh perjalanan hidupnya dibaca ulang oleh gurunya. Bahkan, di saat-saat mujahadah di malam hari, dirinya seringkali didatangi oleh gurunya. “Banyak kejadian di luar nalar saya yang tidak dapat saya ceritakan,” kenangnya sambil meneteskan air mata.
Disinilah dirinya mulai menyadari, bahkan mulai yakin, sekaligus menghapus persepsinya dahulu tentang relasi guru-murid dalam tradisi pesantren, lebih-lebih dalam tradisi tasawuf. Sikap fanatik, cinta buta, atau dalam istilah lain disebut mengkultuskan guru menjadi tradisi dalam dunia sufi.
Dalam perenungannya, dia mengambil kesimpulan, bahwa, sesungguhnya, setiap individu ini, sadar atau tidak sadar telah melakukan sikap mengkultuskan. “Dahulu saya mendapat pengetahuan dari guru-guru agama saya agar tidak fanatik atau mengkultuskan sesama manusia, termasuk guru atau ustadz,” ungkapnya. “Teruss….,” selidik saya. “Dengan kekuatan akal sudah cukup untuk memahami al-Qur’an maupun Hadist,” tambahnya. “Saya pikir-pikir lagi, bukankah membaca kitab, buku, majalah, atau informasi lainnya itu juga bagian dari mengkultuskannya,” sambungnya seolah-olah meralat sistem keyakinan masa lalunya.
Masih menurutnya, kenapa kebanyakan orang atas nama menjauhi fanatisme buta, ta’assuf, kultus, dan berbagai bentuk penghormatan berlebihan yang ditakutkan syirik justeru terjebak kepada fanatisme buta lainnya, yakni fanatisme absolut terhadap buku, kitab, tulisan, dan media informasi lainnya. Tanpa disadari, buku, kitab, maupun media informasi lainnya menjadi Tuhan-Tuhan baru. Padahal, alat atau barang tersebut hasil kreasi manusia juga. Lebih dari itu semua, tanpa disadari juga, kita ini telah menempatkan dan memuja akal melebihi dari Allah yang Maha Hidup dan Maha Tegak; Ya Hayyu ya Qoyyum.
“Guruku biyen dawuh, setiap satu ayat al-Qur’an itu memiliki makna sedikitnya 40 tafsir,” kata ahli hikmah mulai mengurai tentang hakekat sikap mengkultuskan seorang murid kepada guru, lebih-lebih guru sejati yang lazim dalam tradisi tasawuf disebut al-‘Arif billah. Apakah akal ini mampu menjangkau makna-makna sebanyak itu. “Sedangkan orang-orang seperti itu sudah diberi al-Qur’an dalam dadanya,” tambah guru ahli hikmah lagi.
Siapapun yang belum pernah bertemu sendiri, lebih-lebih dekat dengan kehidupan para ahli hikmah akan memiliki pemikiran yang sama seperti mantan direktur YPIA tadi. Tetapi, seseorang akan percaya dan yakin terhadap seorang ahli hikmah manakala dekat dan tahu dengan sendiri. Karena, dalam pribadi-pribadi para ahli hikmah terdapat sifat-sifat kerasulan dan ketuhanan. Untuk menjadi seorang ahli hikmah bukan persoalan mudah. Satu kunci utama adalah sikap mengkultuskan dan fanatik. Dengan kata lain adalah pengabdian total tanpa reserve. Mengkultuskan atau pengabdian kepada siapa? Guru atau mursyid yang al-‘Arif billah!. Kok bisa?
“Tinggalen agomo mu, golek’ono pengeran-mu,” kata sang mursyid mengenang perjalanan berguru kepada gurunya. “Piye toh iki. Aku sejak kecil sudah ber-Islam kok disuruh meninggalkan,” gumamnya bertanya dalam batin, saat itu. “Tanggalkan akal-mu saat kamu berguru kepada orang-orang yang antik seperti itu,” perintah sang mursyid menyindir saya sewaktu awal-awal mengikuti perjalanan berguru kepada beliau.
Dalam berbagai kesempatan, kedua pernyataan yang seolah-olah ambigu akhirnya dijelaskan dengan gamblangnya. Dalam al-Qur’an telah dijelaskan secara tersirat tentang sikap mengkultuskan ini. Kisah ini dalam al-Qur’an dicontohkan dalam relasi guru-murid, antara Nabi Musa dengan Nabi Khidir. Dikisahkan, seorang se-kelas Nabi Musa saja masih gagal berguru kepada Nabi Khidir. Dalam dialog antara kedua beliau, Nabi Musa yang berkeinginan berguru kepada Nabi Khidir dengan satu syarat saja, yakni tidak boleh bertanya.
Sikap tidak boleh bertanya ini sama halnya dengan menanggalkan akal. Terbukti, dalam perjalanan berguru Nabi Musa kepada Nabi Khidir diajari melalui rentetan peristiwa di luar nalar Nabi Musa. Tiga peristiwa adalah (1) mencabut penyumbat saluran air dalam perahu yang menyebabkan perahu bisa tenggelam, (2) membunuh anak kecil, dan (3) membangun rumah anak yatim. Ketiganya adalah pendidikan simbolis belaka. Terhadap ketiga peristiwa simbolis di luar nalar ini, akhirnya Nabi Musa bertanya. Tindakan Nabi Musa yang bertanya ini karena dikendalikan oleh akal. Di sinilah Nabi Musa akhirnya gagal menjadi murid Nabi Khidir. Padahal, tindakan di luar nalar yang dilakukan Nabi Khidir ini sesungguhnya tetap rasional. Hanya saja, makna dan tujuannya disembunyikan.
Lantas, kenapa harus mengkultuskan atau fanatik terhadap guru? Siapa sesungguhnya guru dalam perspektif tasawuf itu? Di sinilah rasionalisasi yang harus difahami oleh kita semua. ”Guru (hakikinya) adalah Allah. Guruku adalah kiblat ku. Guruku adalah kitab ku. Guruku adalah Rasul ku. Di sini pengertiannya adalah mentauhidkan,” jelas ahli hikmah. “Apakah ada dasarnya dalam al-Qur’an,” tanya saya. ”Dasar dalam al-Qur’annya adalah ‘allama al-Insana ma lam ya’lam. Guru-guru seperti itu sudah dibimbing langsung oleh Rasulullah dan Allah sendiri,” tegasnya lagi.
“Kalau sebagai murid belum mentauhidkan guru, jangan harap bisa sampai kepada Allah. Perintah dari guru itu ya perintah Allah. Itu perintah hakiki. Wujud dari Allah itu seperti apa atau bagaimana, ya guru itu,” tambahnya lagi. “Awak mu kepingin ngerti Rasulullah tah? Yo aku iki Rasulullah. Awak mu kepingin ngerti al-Qur’an tah? Yo aku iki al-Qur’an,” kata sang mursyid menirukan gurunya seorang mursyid Shalawat Kubro di Surabaya era 1990-an hingga awal 2000-an.
Maksud dari aku iki Rasulullah kira-kira adalah tafsir dari al-Ulama warasat al-Ambiya’. Sedangkan, maksud aku iki al-Qur’an, dapat dimaknai sebagai al-Qur’an berjalan. Selain itu, seperti dalam pembahasan khusus, orang-orang ahli hikmah dengan maqam makrifat dapat dipastikan mendapat al-Qur’an di dalam dada masing-masing. Karena itulah, siapapun yang berhadapan dengan orang-orang khusus demikian ini dapat membuka segala hakekat apapun. Segala pertanyaan tentang dimensi hakekat, tauhid, maupun makrifat akan dijelaskan tanpa harus membuka kitab sekalipun.
Kalau sudah demikian ini, apakah kita masih melarang untuk fanatik, kultus, atau cinta buta terhadap orang-orang seperti ini? Dapatkah akal, rasio, atau nalar masih kita unggulkan? Apakah akal, rasio, maupun nalar masih kita dewa-dewakan untuk dapat memahami, lebih-lebih menjangkau makna tersembunyi tentang al-Qur’an maupun Hadist? Apakah akal, rasio, maupun nalar dapat menghantarkan seseorang untuk sampai (wusul) kepada Rasulullah dan Allah? Impossible….!!!
*) Penulis adalah penulis buku dan dosen Fakultas Tarbiyah dan Kependidikan (FTK) UIN Sunan Ampel (UINSA) Surabaya, yang konsens di bidang pemikiran Islam dan urban sufisme