Gresik, radar96.com –
Rais Aam PBNU KH Miftakhul Achyar mengingatkan perlunya jamaah dan pengurus organisasi besar seperti Nahdlatul Ulama untuk tertib dalam komando kepemimpinan dan peraturan organisasi. Berbagai isu dan polemik yang bisa melemahkan organisasi harus diwaspadai dan disikapi dengan cara tertib dan taat pada jalur komando serta arahan sikap dari pimpinan tertinggi organisasi, dalam hal ini PBNU.
Hal itu disampaikan Rais Am dalam Haul Muassis NU yang digelar oleh PCNU Gresik untuk pertama kali, berlangsung di kediaman Almarhum KH. Umar Burhan, Jl. Nyai Ageng Arem-arem, Gresik, pada Ahad (26/5) pagi.
Kiai Umar Burhan termasuk dalam jajaran pendiri NU, duduk sebagai Bendahara HBNO di era awal kelahiran NU. Haul muassis NU ini dihadiri undangan dari PCNU se-Jatim, serta dzurriyah pendiri NU dari Jombang, Surabaya, Gresik. Tampak hadir, KH. Fahmi Amrullah Hadzik (cucu Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ary), KH. Asep Saifuddin Halim (putra KH Abdul Halim Leuwimunding), juga putra KH. Umar Burhan sendiri sebagai tuan rumah.
Dalam kesempatan itu, Kiai Miftah yang juga pengasuh PP. Miftachussunnah, Kedungtarukan Surabaya, menegaskan bahwa organisasi yang besar tapi tidak tertib itu bisa dilumpuhkan oleh organisasi kecil yang tertib. “NU itu besar, bahkan yang terbesar di dunia, tapi NU yang besar itu nggak ada artinya kalau nggak tertib atau patuh dalam kepemimpinan dan peraturan,” katanya
Kiai Miftah juga menyinggung tentang polemik nasab yang bikin gaduh, padahal cuma diembuskan segelintir orang. Masalah ini dikesankan sudah bukan soal dzurriyah Ba’alawi melawan dzurriyah Walisongo, tapi arahnya sudah ke jamaah NU.
“Gangguan sudah sudah nyata, bukan dzon lagi, tapi jelas dialamatkan kepada NU dan bertubi-tubi. Hati-hati, itu pola Wahabi,” tegas Kiai Miftah mengingatkan.
Kiai Miftah kembali mengingatkan, NU itu memuliakan orang bukan karena nasab atau garis keturunan, suku, etnis, tetapi keilmuan, kebaikan, dan ketakwaan seseorang. Karena itu, jamaah dan pengurus NU hendaknya bijak menyikapi fenomena ‘kebesaran’ NU itu dengan mengembalikan kepada peraturan organisasi seperti AD/ART, Perkum NU, dan tertib dalam komando kepemimpinan.
“Organisasi sebesar NU itu sudah pasti memutuskan dengan musyawarah lengkap syuriah-tanfidziyah dan kembali pada aturan main yang ada,” tambahnya.
Sementara itu, Gus Fahmi, Ketua PCNU Jombang yang juga Dewan Pengasuh PP Tebuireng Jombang, mewakili Plt Ketua PWNU Jatim KH Abdul Hakim menambahkan pentingnya pola berorganisasi yang merujuk pada muassis atau pendiri NU.
“Jadi, mengurus NU itu jangan karena jadi pengurus atau tidak, tapi mengurus NU itu karena takdzim kepada muassis NU. Bisa saja kita berbeda dengan pengurus NU tapi kita jangan fokus pada orang atau oknum, tapi kepada NU dan para muassis. Kita lihat Hadratussyeikh KHM Hasyim Asy’ari,” katanya.
Ia menambahkan kepemimpinan dalam organisasi juga harus menyatukan, bukan menyeragamkan. “Kalau seragam itu tidak mungkin karena pasti beda, tapi bagaimana menyatukan dalam kebersamaan atau kepentingan bersama,” katanya.
Dalam kesempatan itu, KH. Asep Saifuddin Halim (putra KH Abdul Halim Leuwimunding), menambahkan ada 65-an Muassis NU, namun baru tiga muassis yang digelari Pahlawan Nasional yakni KHM Hasyim Asy’ari, KH Wahab Chasbullah, dan ayahandanya. “Anggota Dewan Gelar Nasional menyatakan semua muassis NU berhak menjadi Pahlawan Nasional,” katanya.
Haul Muassis NU itu juga ditandai dengan peluncuran buku “Minal Muktamar Ilal Muktamar” karya KHM Hasyim Asy’ari. (*/fpnu)