Oleh Ustadz Robiatul Ibroh *)
Apa benar Salafi itu membahayakan Indonesia? Ya, membahayakan, karena menolak beberapa ajaran atau peraturan di Indonesia. Contohnya, tidak mau hormat bendera, karena dianggap thogut. Thogut adalah mengacu pada hukum selain hukum Allah. Hormat bendera itu dianggap sama dengan beribadah kepada selain Allah.
Tidak hanya itu. Salafi juga tidak mau Maulid Nabi dan Tahlilan. Maulid Nabi itu ditentang karena dianggap cinta yang berlebihan kepada nabi, cinta kepada nabi itu bagi mereka sebatas ikut Sunnah. Padahal, ulama di Mesir dan Yaman juga melaksanakan dengan membaca kitab tentang Nabi Muhammad. Idem dengan di Gorontalo, hanya beda teknis, kalau di sana pakai Bahasa Arab, tapi kalau di Gorontalo pakai Bahasa Gorontalo, tapi Salafi justru anggap bid’ah, karena tidak ada dalam Sunnah.
Begitu juga Tahlil, mereka anggap hak kepada mayat itu cuma memandikan, mengkafani, menguburkan, itu saja. Padahal, tahlil itu bab kirim pahala, karena umat yang sudah meninggal dunia itu sangat menantikan bacaan Alqur’an untuk mereka.
Yang juga membahayakan, selain menolak ajaran/peraturan atau membid’ahkan, Salafi juga mengkafirkan. Dulu, saya anggap habib-habib seperti (maaf) Habib Salim adalah ahlul bid’ah, pembawa syirik. Saya dulu didoktrin/dogmatis seperti itu, ditanamkan bahwa foto habib-habib yang terpampang di rumah itu khurofat, syirik.
Ketika saya ketemu Habib Salim, beliau sampaikan pemahaman orang lain, meski tidak sepaham, tapi Salafi tidak melakukan itu, mereka hanya sampaikan pemahaman kelompok mereka, ketika berbeda ya tidak disampaikan. Ini tidak amanah, sehingga sangat membahayakan.
Mereka mendoktrin, orang yang berbeda sudah dianggap subhat (mengkhawatirkan dan mengarah sesat). Itu masih subhat, kalau tingkat kebencian sudah naik, maka dianggap ahlul bid’ah, yang tidak layak duduk bersanding dengannya, taklim bersama, makan bersama, tidur bersama juga tidak layak. Kalau ziarah kubur dianggap penyembah kubur, kalau penyembah kubur dianggap musyrik.
Jadi, saya melihat, menganalisa dan menalar status Salafi itu mati, apa yang dari guru ditelan mentah-mentah, seakan guru seperti nabi, nggak boleh dikritisi. Ketika saya bertemu dengan Habib Salim dan diskusi dengan lainnya, saya mulai terbuka. Alhamdulillah, ternyata mereka yang dulu saya tuduh ahlul bid’ah dan syirik itu lebih ilmiah, lebih amanah, dibanding mereka.
Mereka tidak ada senyum, mereka pakai Hadits Ka’ab bin Malik, yang meninggalkan Perang Tabuk, lalu diqiyaskan dengan Ka’ab, sehingga jangan diajak bicara, jangan disalami, bahkan siapa yang membantu ahlul bid’ah juga disamakan dengan menghancurkan Islam, sehingga kalau saya hadir di majelis lain, saya mulai diboikot, tapi saya tetap datang, karena NU mengajari saya, bagaimana ukhuwah, di Majelis Rasulullah juga mengajarkan ukhuwah dengan baik, tidak pernah ada kebencian, sekalipun mereka benci dengan saya.
Bagaimana menangani radikalisme? Ada tiga cara.
Pertama, ustadz-ustadz Nusantara harus turun semua kayak di Jawa, di media dan taklim-taklim harus rutin. Nah, di Gorontalo harus seperti itu.
Kedua, orang yang berwatak seperti itu jangan diberi tempat di organisasi resmi, seperti MUI, tidak boleh, karena itu bisa jadi tameng: kalau saya dituduh sesat berarti MUI sesat, sehingga mereka bisa leluasa menyebarkan paham karena dianggap tidak sesat, padahal mereka mengajarkan kebencian kepada orang yang berbeda dengan mereka, beda mazhab saja ditolak, apalagi lebih tinggi dari itu.
Ketiga, melacak radikalisme secara sederhana itu bisa dengan pertanyaan: hukum maulid nabi, tahlilan, hukum isra’ mikraj, kalo mereka bilang bid’ah, maka itu radikalisme, itu bibit-bibit radikalisme, karena tradisi itu sudah nasional. Kalau dianggap salah berarti presiden, ulama, dan semuanya itu salah… Bahkan, ulama Mesir dan Yaman juga bisa dianggap salah semuanya.
Jadi, radikalisme itu bukan hanya bom, tapi dari pemahaman tipis-tipis sudah menuju ke radikalisme, seperti tidak mau hormat bendera, mereka seperti Khawarij. Bacaan Qur’an mereka bagus dan baik, tapi hati mereka busuk, mereka benci. Nabi mengibaratkan bahwa keimanan mereka seperti lepasnya busur dari anak panah.
Yang penting adalah memberikan pemahaman kepada anak-anak muda, karena kalau orang tua itu sudah dibekali sejak kecil, jadi yang bahaya itu anak-anak muda, yang kosong dalam pemahaman agama, lalu didoktrin.
Target mereka adalah mencari mangsa sebanyak-banyaknya, membuat taklim dimana-mana, bahkan di kepolisian juga ada, namanya PCS atau Polri Cinta Sunnah.
Selain itu, target mereka adalah masuk ke dalam organisasi resmi agar dianggap legal (misal MUI). Mereka mendapat gaji dari luar negeri, sekitar Rp20 juta/bulan/dai, tapi 1 provinsi untuk 1 dai, ada TV. Ada sekolah tanpa bantuan yang langsung besar, setiap tahun mengundang tokoh dari luar negeri (LN) untuk melihat tanah dan langsung ada pembangunan dengan dukungan kamera besar. Buktinya, saya sendiri sempat ditawari… saya nggak mau, karena ada doktrin agar saya nggak bisa lepas dari mereka.
Setelah itu, saya masuk ke LBM NU, dan ketemu orang seperti Habib Salim di sini (Gorontalo), Ustadz Dzulfikar Harun di Jawa hingga saya bisa 2 jam diskusi, sehingga saya mulai terbuka cakrawala… Saya tegas langsung keluar.
Saya keluar, karena mereka juga memalsukan beberapa kitab, misalnya ziarah qobri nabi, dihapus qobri-nya. Yang lebih membayahakan, mereka menanamkan kebencian, benci pada guru, bukan takut dengan Allah, tapi takut dengan guru di kelompoknya.
Padahal, Nabi pernah menyatakan bahwa umat mayoritas itu tak mungkin sesat, kita kan mayoritas, kalo dianggap sesaat, mana yang benar: nabi atau ente/Anda?!.
*) Sumber: Testimoni yang ditulis dari record wawancara Ketua Majelis Rasulullah Gorontalo Habib Salim Al-Jufri dengan Muballigh Gorontalo Ustadz Robiatul Ibroh yang mengikuti Salafi pada 1998-2008 (sejak kelas 3 SMEA/SMKN 1 Gorontalo pada 1998).