Surabaya, radar96.com – Aksi penolakan nelayan terhadap Proyek Reklamasi Surabaya Waterfront Land memunculkan keprihatinan tersendiri. Dikatakan Dr Jokhanan Kristiyon, pakar komunikasi dari Stikosa-AWS, konflik tersebut menjadi contoh nyata gagalnya proses komunikasi.
“Proyek ini menjadi sorotan karena memicu berbagai kontroversi, terutama dari para nelayan yang merasa terancam mata pencahariannya,” kata Jokhanan yang juga Ketua Stikosa-AWS, kampus komunikasi tertua di Indonesia Timur ini, di Surabaya, Ahad (04/08/24).
Dia menilai, aksi unjuk rasa para nelayan itu muncul karena banyak hal. Khususnya yang menyangkut ancaman terhadap mata pencaharian, karena reklamasi akan mengurangi luas area laut yang bisa digunakan untuk menangkap ikan, sehingga secara langsung berdampak pada pendapatan nelayan.
“Mereka juga keberatan atau khawatir jika proyek reklamasi merusak ekosistem laut, mengganggu rantai makanan, dan mengurangi populasi ikan. Hal ini akan berdampak jangka panjang pada keberlanjutan sumber daya laut,” terangnya.
Hal lain yang tak kalah penting, kata Jokhanan, muncul sebagai dampak sosialisasi yang keliru, minim, atau bahkan tidak ada. “Nelayan merasa tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan dan kurang mendapatkan sosialisasi yang memadai tentang dampak proyek ini terhadap kehidupan mereka,” sesalnya.
Dari beberapa informasi yang ada, proses reklamasi jelas membutuhkan kajian ekstra. Karena selain berdampak terhadap nelayan, proyek reklamasi juga memiliki potensi dampak negatif lainnya. Seperti peningkatan risiko banjir, pencemaran lingkungan, dan bentuk konflik sosial yang berpangkal dari perbedaan kepentingan antara pihak pengembang, pemerintah, dan nelayan.
Disampaikan Jokhanan, untuk mengatasi masalah ini, diperlukan solusi yang komprehensif, melibatkan berbagai pihak, dan mempertimbangkan aspek lingkungan dan sosial.
“Salah satu yang paling penting adalah komunikasi. Termasuk di dalamnya strategi yang mampu mengakomodir kepentingan pemerintah, pengembang, dan nelayan. Ada kajian ekstra terkait studi lingkungan yang komprehensif, hingga kompensasi yang adil kepada nelayan,” jelas penulis buku ‘Konvergensi Media: Transformasi Media Komunikasi di Era Digital’ ini.
Sebagai komunitas yang hidup dari laut, nelayan jadi pihak yang paling penting untuk dilibatkan sebagai pengambil keputusan. Tuntutan akan dialog dan negosiasi serta kompensasi yang adil dari nelayan, lanjut dia, menunjukkan adanya ketidakseimbangan kekuasaan antara pihak pengembang, pemerintah, dan nelayan. “Nelayan merasa posisinya lemah, sehingga perlu diperjuangkan,” tegasnya.
Untuk memperbaiki situasi ini, Jokhanan menggarisbawahi aspek komunikasi yang efektif. Seperti dialog, sosialisasi yang transparan, penjelasan pakar yang berimbang, mencari solusi bersama, hingga pembahasan khusus terkait kompensasi.
“Pembahasan khusus terkait kompensasi memiliki potensi besar untuk mengurangi risiko konflik dalam proyek reklamasi. Setidaknya nelayan sebagai pihak yang paling dirugikan akan merasakan keadilan,” ingat Jokhanan.
Ketika nelayan merasa bahwa kerugian mereka diakui dan dikompensasi secara adil, maka rasa ketidakadilan dan amarah yang selama ini mereka rasakan dapat berkurang. Ini menciptakan perasaan bahwa mereka diperlakukan secara manusiawi dan dihargai sebagai bagian dari masyarakat.
“Kompensasi yang ada juga membuat nelayan lebih terbuka untuk diajak berdiskusi dan bekerja sama mencari solusi terbaik. Mereka akan merasa lebih aman dan terjamin masa depannya, sehingga lebih bersedia untuk menerima perubahan yang terjadi,” terang Jokhanan.